Wartawan vs Bos Solar, Saat Kebenaran Dijebak di Republik Mimpi

Wartawan vs Bos Solar, Saat Kebenaran Dijebak di Republik Mimpi

OH GITU HUKUM
- Di Republik Mimpi, banyak hal bisa bocor: mulai dari tangki solar sampai hati nurani.
Belakangan, bukan cuma penimbunan yang ditangkap polisi, tapi juga wartawan yang mencoba menulis tentangnya.
Kasusnya klasik: dugaan pemerasan. Tapi katanya, jebakan.

Yang lapor malah bos besar solar kencingan — pemain lama dalam bisnis yang seharusnya ilegal, tapi di Republik Mimpi selalu punya izin “dari langit”.
Dan seperti biasa, siapa yang duluan bikin laporan, dia yang tampak benar.

Solar Kencingan: Bisnis Gelap yang Terang Benderang

“Kencingan solar” itu istilah halus buat sistem bocor yang rapi.
Mobil tangki yang seharusnya langsung ke SPBU, mampir dulu ke gudang tertentu, meneteskan sebagian isinya buat dijual gelap.
Sopirnya senyum, bosnya untung, negaranya buntung.

Praktik ini bisa hidup karena ada kerjasama lintas level — dari sopir, pemodal, sampai yang punya seragam.
Dan selama semua pura-pura nggak tahu, bisnis haram ini tetap harum.
Yang rugi jelas: nelayan, petani, dan rakyat kecil yang tiap hari ngantri solar sambil ngelus dada.

Ketika Pena Jadi Bukti

Di sinilah tokoh utamanya: wartawan lapangan yang katanya lagi investigasi soal solar bocor.
Belum sempat nulis, malah dituduh memeras, lalu dijebloskan ke tahanan.

Versi lain bilang, itu jebakan manis.
Datang dipanggil, dikasih amplop, difoto, lalu dilaporin.
Dan begitu cepat, tinta berubah jadi pasal.

Secara hukum, pasal yang sering dipakai adalah Pasal 369 KUHP tentang pemerasan, ancaman 4 tahun penjara — atau 9 tahun kalau ada unsur kekerasan.
Tapi kalau benar ada penimbunan solar, si bos juga bisa kena Pasal 55 UU Migas: pidana 6 tahun dan denda Rp60 miliar.
Dua-duanya salah, tapi di Republik Mimpi, yang duluan lapor biasanya lebih dulu dianggap benar.

Ketika Hukum Menetes dari Tangki yang Bocor

Fenomena ini udah sering terjadi.
Wartawan yang mau bongkar, malah dibungkam.
Yang niat investigasi, malah diinvestigasi.

Tapi di sisi lain, ada juga wartawan gadungan yang memang cari celah untuk “ngatur berita” demi amplop.
Dan di tengah kabut itu, publik cuma lihat dua hal:
wartawan ditangkap, solar tetap bocor.

Di Republik Mimpi, hukum itu seperti solar: kadang encer, kadang kental — tergantung siapa yang pegang jerigennya.

Pers Sejati Tak Butuh Amplop, Cukup Nurani

Media online tumbuh kayak jamur di musim hujan.
Tapi sebagian isinya jamur beracun: lebih cepat minta ongkos ketimbang menulis kebenaran.

Padahal wartawan sejati nggak perlu ancam-ancam.
Berita yang tajam cukup bikin pejabat gemetar tanpa harus minta ongkos “biar nggak naik”.
Pena itu bukan alat transaksi — itu alat perlawanan.

Solar Bocor, Nurani Bocor, Republik Mimpi Gelap

Ironinya, di Republik Mimpi, solar dan nurani sama-sama mudah bocor.
Semua sibuk cari untung, lupa kalau kebenaran juga butuh bahan bakar.

Wartawan perlu belajar bahwa keberanian menulis tak boleh dijual.
Dan “bos solar” perlu paham, uang hasil kencingan tetap haram meski dicuci pakai sabun hukum.

Karena pada akhirnya, baik pena maupun tangki punya fungsi mulia:
yang satu menyebarkan kebenaran, yang satu menggerakkan kehidupan.
Tapi kalau dua-duanya bocor, jangan heran kalau negeri ini makin gelap — bukan karena mati listrik, tapi karena nurani ikut padam.
💬 Disclaimer: Kami di OHGITU.com berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@ohgitu.com.