BPS Catat Pengangguran di Banten Menurun, Tapi Lapangan Kerja Masih Seret

OH GITU BANTEN - Sudah dua tahun Banten menyandang gelar yang agak getir: Jawara Pengangguran. Gelar ini, kalau dibungkus dengan pita, mungkin bisa jadi penghargaan paling ironis di acara tujuhbelasan—karena siapa sih yang mau juara dalam urusan tak punya kerjaan?
Namun kini, kabar baiknya, Banten sudah turun pangkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten yang dirilis Rabu (5/11), tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Banten pada Agustus 2025 berada di angka 7,02 persen. Angka ini menempatkan Banten bukan lagi di posisi puncak nasional—setidaknya, untuk sementara.
Menurut data itu, jumlah warga Banten yang masih belum punya pekerjaan mencapai 412.360 jiwa. Turun tipis dari Februari 2025 yang mencapai 412.710 jiwa. Kalau dihitung-hitung, penurunannya cuma 350 orang. Sedikit, memang, tapi dalam dunia statistik, kadang perubahan sekecil itu bisa jadi alasan buat BPS bikin siaran pers.
Sedikit Turun, Banyak Harapan
Secara year-on-year (yoy), penurunan pengangguran di Banten lebih lumayan—sekitar 2.390 jiwa dibanding Agustus tahun lalu. Tapi tetap saja, kalau dibayangkan, jumlah itu belum cukup bikin antrean di job fair jadi lebih pendek.
Ketua Tim Statistik Sosial BPS Provinsi Banten, Adam Sofian, menjelaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk usia kerja ikut memengaruhi struktur angkatan kerja. Pada Agustus 2025, penduduk usia kerja di Banten mencapai 9,54 juta orang—naik dari 9,44 juta orang pada tahun sebelumnya. Artinya, meski banyak yang mulai bekerja, yang mencari kerja pun bertambah.
“Dari total angkatan kerja 6,17 juta orang, sebanyak 412,36 ribu masih menganggur,” ujar Adam, sambil menegaskan bahwa tren penurunan ini memang positif, tapi belum bisa disebut signifikan.
Bekerja, Setengah Bekerja, atau Setengah Menganggur?
BPS juga mencatat, dari total angkatan kerja itu, sekitar 5,76 juta orang sudah bekerja. Tapi jangan buru-buru lega dulu. Dari jumlah tersebut, hanya 4,36 juta orang yang bekerja penuh waktu. Sisanya, 1,01 juta orang bekerja paruh waktu, dan 383 ribu lainnya termasuk kategori “setengah pengangguran”.
Istilah “setengah pengangguran” ini menarik—karena menggambarkan kondisi di mana seseorang punya pekerjaan, tapi jam kerjanya belum cukup. Bisa jadi tukang ojek daring yang order-nya sepi, atau pekerja lepas yang lebih sering rebahan daripada ngetik.
“Penurunannya memang tidak terlalu besar, tapi tetap menunjukkan adanya pergerakan. Meski begitu, tantangan pasar kerja kita masih sangat nyata,” kata Adam, dengan nada yang, kalau diterjemahkan bebas, berarti: “Ya begitulah hidup.”
Refleksi Kecil: Antara Statistik dan Realita
Di atas kertas, angka-angka BPS ini menandakan kemajuan—walau tipis-tipis. Tapi di lapangan, kita tahu bahwa angka tak selalu mewakili perasaan. Sebab bagi yang masih sibuk kirim lamaran kerja, perbedaan 350 orang itu tak terasa sama sekali.
Banten boleh lega karena sudah bukan “jawara pengangguran” lagi, tapi seperti pepatah lama: turun pangkat bukan berarti sudah bebas tugas. Masih banyak PR—dari pemerataan kesempatan kerja, peningkatan keterampilan, sampai menyediakan ruang bagi mereka yang tak hanya butuh gaji, tapi juga masa depan yang masuk akal.
Mungkin kelak, kalau Banten berhasil menurunkan pengangguran lebih jauh, kita bisa bilang: akhirnya, juara juga—dalam hal yang benar.